... KEHILANGAN KEHORMATAN YANG BERAKIBAT KETAATAN ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Seorang pemuda .... yang komitmen
beragama maju untuk menikah. Dia mulai mencari calon pasangan perempuan.
Syarat satu-satunya adalah agar dia seorang wanita yang komitmen,
berakhlak, dan kuat agama. Dan setelah melalui pencarian, kini dia telah
menemukan gadis tersebut, sebagaimana ciri-ciri yang diinginkan.
Setelah
melamar, dan ketika ia telah bersiap-siap untuk menikah, tiba-tiba
calon mempelai perempuan menolak dan mengatakan bahwa dia tidak ingin
menikah. Keluarganya terheran melihat keputusannya yang mengagetkan,
setelah sebelumnya memberikan kesanggupan. Pemuda itu meminta sang gadis
untuk menjelaskan penolakannya, namun justru ia membawakan
alasan-alasan yang lemah. Setelah itu, perkaranya ditangani oleh ibunya
yang merasa sangat sedih dengan keputusan ini. Terlebih, pemuda itu
terkenal dengan bagus akhlak dan budi pekertinya.
Setelah sang
ibu mendesaknya, dia (calon mempelai perempuan tersebut) berkata kepada
ibunya, "Sesungguhnya Allah Maha menutupi (dosa hamba-hambaNya), dan Dia
telah menutupiku. Tinggalkanlah aku dan urusanku..." Di hadapan desakan
sang ibu yang sangat bingung dengan perkara itu, dia berterus terang
kepada sang ibu bahwa dirinya telah kehilangan kehormatannya, namun dia
telah bertaubat. Dan bahwa peristiwa itulah yang menyebabkan sikap
komitmennya terhadap agamanya, sekaligus sebab penolakannya untuk
menikah. Ia meminta ibunya agar merahasiakan perkara itu, dan bahwa ia
akan menebus sebab kesalahannya. Ibunya memikirkan perkara itu dan
berkata, "Putriku! Selama kamu telah bertaubat kepada Allah, sedang
Allah menerima taubat hamba-hambaNya dan memaafkan banyak dosa, maka
biarkan aku meminta pendapat pemuda itu, barangkali ia akan menerima
atau menutupinya..."
Setelah melalui musyawarah dan diskusi
yang panjang, gadis itu pun menerima usulan itu. Sang ibu pun pergi,
tidak tahu entah bagaimana akan membuka berita buruk ini kepada sang
calon pengantin. Setelah sempat bimbang, tidak lama kemudian ia meminta
supaya pemuda itu menemuinya.
Ketika pemuda itu datang, ia
membuka permasalahan itu kepadanya dan meminta pendapatnya. Ia
menceritakan bahwa putrinya menjadi komitmen terhadap agama setelah
perbuatan itu dan telah bertaubat kepada Allah, inilah sebab
penolakannya untuk menikah...
Pemuda itu berpikir sejenak,
kemudian berkata kepadanya, "Saya sepakat untuk menikah dengannya selama
ia telah bertaubat dan kembali kepada Allah dan istiqamah. Dahulu
sebelum komitmenku terhadap agama, aku sendiri berada dalam kemaksiatan
dan kemungkaran. Sementara kita tidak tahu siapakah yang diterima
taubatnya di sisi Allah."
Wajah sang ibu itu berseri mendengar
berita gembira ini dan segera pergi menemui putrinya dengan penuh suka
cita, dan dalam waktu yang bersamaan ia merasa takjub dengan sikap
ksatria dan keputusan baik pemuda itu, lalu memberitahukan kabar gembira
itu kepada putrinya. Dan pernikahan pun terlaksana.
Ketika
bertemu, sang wanita banyak menangis. Sementara bahasa isyaratnya
mengatakan, "Betapa engkau laki-laki cerdas. Aku akan menjadi istri yang
taat bagimu." Dan Allah pun mempertemukan mereka berdua dengan
kebaikan.
... KISAH MENYENTUH, .. PENYESALAN SEORANG ISTRI ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun
menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya.
Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya
kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami
sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku
menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.
Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang istri.
Aku selalu bergantung
padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang
ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga
tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan.
Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak
suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal
melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan
meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Aku marah
kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia
memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia
menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya
dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus
mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak
kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun
yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan.
Seperti
biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang
tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan
kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku
memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa
terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat
untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke
salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu
temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik
termasuk saling memamerkan kegiatan kami.
Tiba waktunya aku
harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku
hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang,
kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka
kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak
salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan
lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku
kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang,
aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada
dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon.
Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan
bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena
“musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi
untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku
semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak
ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa
tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara
asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara
lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu
istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih.
Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat
seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah
sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan
ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini
dialah yang melakukan segalanya untukku.
Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku
telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan
stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan
itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang
shock.
Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang
terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak
mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan
aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru
kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas.
Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang
dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu
saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua
pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya
terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak
pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan
vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan
setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan.
Aku
tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan
aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh
keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa
makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri.
Aku tak
perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman,
aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya
hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun
sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa
sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia
karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak
di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku
duduk termangu memandangi piring kosong.
Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan
ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar
mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di
kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di
sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di
kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong
dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan
dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi
tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan
pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang
biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku
dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada
diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia
sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan ikhlas.
Aku sholat karena aku ingin
meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang
dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak
baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu
menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya
dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.
Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk
bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan
tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya
selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah
yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan
setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor
tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh
gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku
tak pernah bertanya sekalipun soal itu.
Yang aku tahu sekarang
aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami
bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman
sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku
terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris.
Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat.
Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku
dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang, ...
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena
harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak
ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan
tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu
untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang
lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu
dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak
yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu,
ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa
selama ini suamiku memiliki beberapa tabungan dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar
cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap
membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk
menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya
yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan
untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra
putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi
seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus
bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak,
ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata
“Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau
akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada
ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya
yang begitu tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar